SEJUMLAH protokol kesehatan yang diimbau pemerintah untuk penanganan
pandemi covid-19 berpotensi berdampak pada penanganan tengkes atau
stunting di Indonesia. Untuk itu perlu modifikasi strategi kebijakan di
tingkat daerah agar penanganan stunting bisa terus berjalan di tengah
pandemi.
Hal itu jadi salah satu kesimpulan dalam diskusi soal stunting yang
digelar oleh Habibie Institute for Public Policy and Governance (HIPPG).
Narasumber dalam diskusi itu setuju pemenuhan nutrisi merupakan hal
penting dalam pencegahan stunting.
Mantan Asisten Deputi Ketahanan Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak, dan
Kesehatan Lingkungan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan Media Octarina mengatakan, Indonesia menargetkan stunting
turun 14% pada 2024. Namun, pandemi global covid-19 dapat berpengaruh
pada pemenuhan target.
"Agar target penurunan angka stunting nasional yang merupakan program
prioritas nasional dapat tetap tercapai, dibutuhkan modifikasi strategi
kebijakan yang dapat diimplementasikan di tingkat daerah. Sehingga,
kita tetap bisa mencegah terjadinya malnutrisi dan menyelamatkan masa
depan anak-anak Indonesia di tengah pandemi ini, " ujarnya dalam
keterangan tertulis.
Dalam mencegah terjadinya malnutrisi, deteksi dini seperti pemantauan
pertumbuhan rutin di fasilitas kesehatan memiliki peran krusial.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Damayanti Rusli
Sjarif mengatakan, imbauan untuk tetap di rumah dan menjaga jarak fisik
(physycal distancing selama pandemi covid-19, berpotensi menyulitkan
pemantauan pertumbuhan balita di posyandu.
"Apabila tidak cepat dideteksi melalui pengukuran berat badan,
panjang badan, hingga lingkar kepala, anak-anak bisa menderita
malnutrisi kronis hingga menjadi stunting," katanya.
Menurut Damayanti, selain mempengaruhi otak, nutrisi pada awal
kehidupan seperti protein hewani, asam amino, zat besi, maupun zinc,
juga berpengaruh kepada daya tahan tubuh seorang anak.
Asupan yang tidak cukup dapat berpengaruh pada penurunan berat badan,
weight faltering (kenaikan berat badan yang tidak sesuai kurva),
kesulitan nafsu makan, hingga malnutrisi.
Tumbuh kembang yang tidak sesuai usianya juga dapat menjadi salah
satu pertanda bahwa telah terjadi penurunan daya tahan tubuh pada anak
yang membuatnya lebih rentan terhadap infeksi, termasuk pathogen seperti
virus.
"Bahayanya, infeksi berulang akan mengganggu saluran cerna,
malabsorpsi nutrisi, risiko malnutrisi, hingga mengganggu hormon
pertumbuhan pada anak, yang dapat berujung pada stunting akibat
malnutrisi kronis yang dibiarkan tidak terdeteksi.” ujarnya.
Berkaitan dengan strategi khusus pencegahan stunting selama masa
pandemi, Damayanti menuturkan bahwa kuncinya adalah pada pemberian gizi
yang baik, pemantauan tumbuh kembang rutin untuk deteksi dini, serta
sistem rujukan berjenjang.
“Misalnya,
apabila balita yang diukur di Puskesmas menunjukkan tanda gizi buruk,
gizi kurang, tumbuh tidak sesuai kurva, ia wajib didiagnosa dan
diberlakukan tata laksana malnutrisi oleh dokter di Puskesmas. Namun,
apabila sudah stunting, balita harus dirujuk ke RSUD untuk ditangani dan
diberlakukan tata laksana stunting oleh Dokter Spesialis Anak,"
tuturnya.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Probhoyekti
mengakui ada risiko peningkatan masalah gizi akut dan kronis yang
disebabkan oleh menurunnya akses dan daya beli masyarakat terhadap
pangan bergizi akibat pandemi covid-19.
“Imbas PSBB, kami meminimalisir kunjungan masyarakat ke fasilitas
layanan kesehatan (fasyankes) dan mengutamakannya untuk yang bersifat
mendesak dan gawat darurat. Kami menyeimbangkannya dengan rencana
modifikasi pelayanan seperti kunjungan rumah bagi sasaran berisiko,
konseling virtual, edukasi masyarakat, hingga komunikasi melalui grup di
media sosial,” ujar Dhian.
Pelayanan yang diatur oleh Kementerian Kesehatan tersebut dilakukan
untuk balita gizi kurang, balita gizi buruk, ibu hamil Kekurangan Energi
Kronis (KEK), ibu hamil dengan anemia, hingga remaja putri dengan
anemia.
Menurut Dhian, pemantauan status gizi balita di Posyandu kini
ditunda. Namun, masyarakat diharapkan tetap memberikan ASI pada bayi,
makanan sesuai pedoman gizi seimbang pada anak, cuci tangan dan PHBS,
hingga melakukan aktivitas fisik.
Selain itu, masyarakat diimbau untuk segera menghubungi kader atau
fasyankes apabila anak mengalami penurunan nafsu makan, penurunan berat
badan, maupun gangguan kesehatan lainnya.
Dokter Spesialis Anak Tb. Rachmat Sentika mengatalan, penderita gizi
buruk dan gizi kurang dapat berisiko terutama dalam 3 bulan masa PSBB
ini.
"Petugas kesehatan dimanapun berada harus mengutamakan preventif,
jangan sampai yang sehat menjadi jatuh sakit. Salah satu caranya adalah
pemberian PMT seperti anjuran Permenkes nomor 29 bagi balita gizi kurang
dan gizi buruk di bawah pengawasan tenaga medis," katanya.
Terdapat 4 hal yang dikhawatirkan oleh pemerhati gizi anak di Indonesia terutama pada masa pandemi COVID-19.
"Dalam kejadian pandemi ini, dikhawatirkan program nasional penurunan
stunting dan penanggulangan gizi buruk tidak dapat terlaksana dengan
baik. Kedua, isu program refocusing dana yang dapat membuat berkurangnya
dana untuk implementasi program nasional stunting di daerah. Ketiga,
kami ingin menekankan pentingnya peranan makronutrien dan asam amino
esensial dari 2 tahun pertama kehidupan. Keempat, menghimbau penggunaan
media digital untuk pencegahan stunting, contohnya penggunaan teknologi
digital untuk memantau status gizi anak di rumah,” terangnya.
Direktur Eksekutif HIPPG Widya Leksmanawati Habibie menekankan
pentingnya protein hewani dan nutrisi yang cukup untuk menjaga gizi anak
selama masa pandemi.
Berita ini sebelumnya telah dimuat di : MediaIndonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar